APA YANG DIHARAPAKAN DARI DANA BOS?
Belum lama ini pemerintah telah
menetapkan alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) tahun 2012 untuk
tingkat SD yang semula Rp. 397,000 menjadi Rp. 580,000 per anak per tahun.
Sementara untuk tingkat SMP dari Rp. 570,000 menjadi Rp. 710,000. Secara
nasional alokasi dana BOS naik 43,75% dari sebelumnya yaitu Rp. 16 trilliun menjadi Rp. 23,5 trillun
untuk 27,2 juta siswa sekolah dasar dan
9,4 juta siswa SMP di seluruh Indonesia.
Menurut pemerintah, kenaikan dana BOS ini
dimaksudkan agar sekolah dapat memenuhi
Standar Pelayanan Minimum dan dapat memastikan bahwa program belajar 9 tahun
dapat berjalan dengan baik. Bahkan agar dana BOS ini tepat sasaran, tepat
waktu, tepat jumlah dan tepat penggunaan, maka melalui surat Kementerian dan
Kebudayaan RI No. 3581/C3/KU/2011 pemerintah mengubah mekanisme penyaluran dana BOS yang semula melalui
bendahara Kabupaten/Kota, sekarang tidak lagi melainkan langsung melalui Kas Umum Negara (KUN) dan kemudian ke
Kas Umum Daerah (KUN) Provinsi, dan selanjutnya disalurkan ke satuan
pendidikan dasar (SD dan SMP) baik negeri maupun swasta dalam bentuk hibah.
Provinsi DI. Yogyakarta
tahun 2012 ini memperoleh dana BOS sebesar Rp. 277,2 milyar untuk 420,959
sekolah. Menurut Koordinator BOS DI.Yogyakarta,
Singgih Rahardjo dari jumlah itu Rp. 260,3 milyar diantaranya akan
disalurkan ke sekolah-sekolah negeri dan swasta tingkat SD dan SMP dan sisanya
Rp. 16,9 milyar akan digunakan sebagai cadangan untuk mengantisipasi kemungkinan
adanya perubahan jumlah siswa. Belum lagi pemerintah daerah masih juga
menyediakan dana operasional sekolah (BOSDA), termasuk untuk SMA/SMK yang saat ini pengelolaannya mencapai Rp. 73 miliar
(Tribun Jogja 22 dan 30/12/2011) Meskipun diperkirakan penambahan dana BOS 2012
ini akan berpengaruh terhadap BOSDA, namun hampir dipastikan pemerintah daerah
tetap akan memberikan bantuan dana operasional kepada sekolah pada tingkat SD
dan SMP.
Lalu apa
artinya semua ini? Penambahan dana BOS yang cukup besar dan sudah dimulai sejak Juli 2005 ini tentu harus mempunyai pengaruh
terhadap peningkatan akses dan mutu pendidikan
dasar 9 tahun. Artinya di satu sisi penanambahan dana BOS ini harus bisa mengcover semua anak usia sekolah di
bumi pertiwi ini untuk bisa menikmati pendidikan seperti diamanakan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional kita ( UU Sisdiknas). Bahwa
setiap warga negara yang berusia 6 tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar (Pasa 34 ayat. Pemerintah pusat dan daerah berkewajiban
menjamin terselenggarakan wajib belajar itu. (Pasal 34 ayat 2 dan 3).
Tetapi di sisi lain, penambahan dana BOS
harus juga membuat mutu pendidikan lebih baik yaitu mutu yang memperlihatkan
anak-anak kita memiliki kemampuan intelektual dan karakter yang baik. Sebab
kita tahu tujuan pendidikan nasional bukan hanya meningkatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang produknya adalah manusia yang rasioal, kritis
dan terbuka, tetapi juga seretak pula menanamkan nilai-nilai moral, iman dan
etika yang produknya adalah manusia yang berkarakter, berbudi luhur dan
bertaqwa. Ironisnya sudah ratusan triliun rupiah digelontorkan pemerintah untuk
biaya operasional sekolah, namun produknya di bidang karakter justru tidak
menyolok. Kita bisa menyaksikan betapa maraknya tawuran antar pelajar
akhir-akhir ini. Hal ini bukan saja
memperhatinkan tetapi juga merupakan wujud dari kegagalan suatu usaha pembinaan
karakter yang biayanya tentu juga berasal dari dana BOS.
Selain itu harus juga dipastikan bahwa dengan bergulirnya dana BOS yang cukup besar
saat ini haruslah tidak ada lagi siswa miskin yang putus sekolah karena tidak
mampu membayar pungutan sekolah yang tempo hari masih saja dilakukan oleh
pihak-pihak sekolah sekalipun dengan cara yang berbeda-beda. Dan dengan ini
juga ditegaskan kembali, pihak sekolah tidak boleh melakukan pungutan terhadap siswa dalam bentuk
dan kepentingan apapun. Bahkan terhadap lulusan sekolah tingkat SD tidak boleh
ada siswa yang karena kemiskinannya atau
karena hal-hal lain tidak bisa
melanjutkan sekolah Pihak sekolah mempunyai tanggungjawab untuk mengupayakan
kelangsungan pendidikan siswa ini ke sekolah lebih lanjut.
Tapi bisakah demikian ? Kita tidak bisa
menutup mata saat ini toh masih ada anak yang karena kemiskinannya terpaksa
tidak bisa bersekolah. Masih adanya juga pungutan sekolah sekalipun itu atas
nama Komite Sekolah yang ujung-ujungnya untuk kepentingan sekolah. Lihat saja
setiap penerimaan murid baru, masih saja ada pungutan atau sumbangan untuk pembangunan baik itu untuk sarana
prasarana sekolah, tempat parkir, kantin, kamar mandi, pagar dan lain sebagainya yang aktornya biasanya
diperankan oleh Komite Sekolah. Hal semacam ini yang membuat anak miskin takut
sekolah.
Terhadap penanggung jawab sekolah - tentu
dalam hal ini adalah para kepala sekolah – penggunaan dana BOS harus dilakukan
secara transparan dan akuntabel. Para kepala
sekolah tahu betul bagaimana cara penggunaan dana BOS itu harus dilakukan dan dilaporkan. Tapi
pentinglah dalam hal ini mereka mengedepankan
kejujuran dan kebenaran di dalam pelaporan. Di beberapa daerah masih saja ada
protes-protes terhadap penggunaan dana BOS. Ini menunjukkan bahwa transparansi dan
akuntabel saja tidak cukup tanpa disertai kejujuran dan kebenaran..
Tapi perlu diingat bahwa
orangtua murid pun sebenarnya mempunyai
hak untuk mengetahui laporan penggunaan dana BOS seperti halnya pemerintah.
Prinsip dasarnya adalah pencantuman nama dan jumlah siswa menjadi syarat mutlak
bagi penerimaan dana BOS. Atas nama mereka itulah kemudian sekolah mendapat biaya operasional. Karena itu
orangtua siswa atau siswa mempunyai hak untuk memperoleh laporan atau hak untuk
menanyakan penggunaan dana BOS. Apalagi sekolah sebagai badan layanan publik kepadanya
melekat keharusan memberikan informasi kepada masyarakat sebagaimana diatur
dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Inilah yang sering kurang disadari terutama oleh
pihak sekolah.
Komite Sekolah
sebagai representatif orangtua murid dalam keterlibatan dengan pihak sekolah mempunyai peran penting
terutama dalam bidang pengawasan, selayaknya peran itu dilakukan dengan
memberikan laporan penggunanaan dana BOS dalam periode tertentu kepada orangtua
murid sebagai yang direpresentasikan. Jangan sampai sejak penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) dibahas hingga akhir tahun anggaran dana BOS tidak
pernah ada laporan. Apalagi dewasa ini memang pembahasan RAPBS di banyak
sekolah terkesan tertutup, sehingga tidak mengherankan bila kedepan atau
selanjutnya juga tertutup. Komite sekolah lalu menjadi apa yang banyak orang
sebut sebagai “stempel sekolah”.
Disamping itu, barangkali
ini yang terpenting, para kepala sekolah harus mau
melihat bahkan mencari dan mengajak
siswanya yang akan lulus tingkat SD tapi berpontensi tidak dapat melanjutkan
sekolah. Juga mereka yang teridentifikasi putus sekolah namun masih berminat
melanjutkan. Mereka ini harus diupayakan agar mereka tetap bisa sekolah ataupun
melanjutkan sekolah. Kepala sekolah memiliki tanggungjawab moral yang besar
terhadap anak didiknya. Jangan sampai terjadi begitu siswa kelas VI selesai
ujian dan tamat tidak lagi mau tahu apa yang terjadi terhadap mantan siswanya
itu. Karena itu komunikasi dengan orangtua siswa khusus siswa kelas VI harus senantiasa terjalin sampai pada
kepastian bahwa semua mantan siswanya
itu masih tetap bersekolah.
Tentu kita bersedih ketika kepala sekolah
tidak lagi memperhatikan hal ini, bahkan tidak ada upaya-upaya nyata. Tidak ada suatu kiat atau program
bagaimana memantau para siswa yang baru saja lulus atau tamat dari sekolah.
Apakah mereka bisa melanjutkan atau tidak dan mengapa itu terjadi. Kepala
sekolah barangkali terlalu sibuk mengurusi penerimaan murid baru dan
penyelesaian pembuatan laporan pertanggungjawab keuangan penggunaan dana BOS
atau kesibukan yang lain. Usaha-usaha semacam ini sebenarnya bisa dilakukan
bersama dengan komite sekolah. Karena itu harus ada kerja sama yang baik
antara sekolah dan komite.. Bahkan komite
sekolah sendiri sebagai representatif orang tua murid bisa mengankatnya menjadi program. Sayangnya saat
ini ada Komite Sekolah yang tidak punya program. Pada hal Komite sekolah adalah
lembaga resmi yang lahir dari amanat UU Sisdiknas. Sebagai lembaga yang punya
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga tentu harus mempunyai program.
Apa yang paling penting dari semuannya adalah
penggunaan dana BOS jangan pernah melupakan kepentingan atau kebutuhan sekolah para
siswa khususnya siswa miskin, apalagi mengeksploitasinya demi kepentingan
sekolah semata. Sebab mereka itulah yang sesungguhnya justru menjadikan sekolah
mampu membiayai segala kegiatan operasionalnya. Mereka itulah yang harus
menjadi primadona dalam pelayaan pendidikan. Kita tunggu apakah kepentingan dan
kebutuhan siswa menjadi bagian prioritas sekolah dalam penggunaan dana BOS?